Jumat, 03 Maret 2023

Posisi Abduh dalam Tafsir Mawdhu'i

Muhammad Abduh adalah seorang tokoh pembaharu yang lahir pada tahun 1849 Masehi dan wafat pada tahun 1905 Masehi. Berbeda dengan guru beliau, Jamaludin Al afghani (1839-1897) yang fokus pada bidang politik, Abduh lebih memfokuskan dakwah pada bidang sosial dan pendidikan. Beberapa tahun sebelum akhir hayatnya, Abduh diminta oleh Ridho untuk menyampaikan kajian tafsir di masjid Al Azhar. Kajian ini selalu ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridho dan kemudian disusun dan diterbitkan dalam bentuk kitab tafsir dengan nama Tafsir Al-Qur'an Al-Hakim yang dikenal dengan nama Tafsir Al-Manar. Abduh yakin bahwa tujuan yang paling tinggi dalam tafsir Alquran adalah bagaimana umat Islam dapat mendapatkan petunjuk dari Alquran sehingga mengarahkan mereka pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Inilah yang menjadi alasan beberapa sarjana Islam yang fokus pada kajian tafsir menyebut corak tafsir Al Manar itu adalah adab ijtima'i, meminjam istilah Muhammad Husein Al zahabi, atau aqliyah ijtima'iyyah meminjam istilah Fadl Abbas. Selain itu, dalam mukadimah tafsir Al Manar disebutkan bahwa tafsir yang paling baik adalah menafsirkan sebuah kata dalam Alquran dengan mengumpulkan ayat-ayat yang terkait dengan kata tersebut. Beberapa poin di atas tampaknya menjadi alasan Farmawi untuk menyebut Abduh sebagai pemimpin tafsir maudhu'i di era modern.

Farmawi menyebutkan beberapa orang yang berpengaruh dalam mengembangkan tafsir maudhu'i. Pertama adalah Abduh, kedua adalah Shaltut, dan ketiga adalah Kumi. Sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, farmawi menyebut Abduh sebagai pemimpin tafsir maudhu'i di era modern. Memang Farmawi tidak menyebutkan argumentasi mengapa dia menyebutkan hal itu. Namun sebagaimana pembacaan kami, alasan tersebut tampak dari pemahaman-pemahaman Farmawi terhadap tafsir maudhu'i yang dikorelasikan dengan pemahaman Abduh terhadap tafsir itu sendiri.

Farmawi berpendapat bahwa tafsir maudhu ini dapat menghasilkan penafsiran yang sangat bermanfaat untuk masyarakat berupa aman terhadap hukum-hukum sosial atau penciptaan undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan umat Islam. Dia yakin bahwa hukum sosial atau undang-undang yang dihasilkan dari proses penafsiran Alquran dengan metode tafsir mawdhu'i dapat mengantarkan umat Islam pada kebaikan dunia dan akhirat. Pandangan ini sangat dekat dengan model penafsiran Abduh yang bercorak sosial, dan bertujuan untuk menggali petunjuk Alquran yang mengantarkan umat Islam pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Tafsir mawdhu'i merupakan metode penafsiran yang diawali dengan penentuan sebuah tema kemudian kompilasi ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut. Menurut Abduh, langkah semacam ini merupakan langkah yang tepat untuk mendapatkan penafsiran yang terbaik. Jadi, walaupun istilah tafsir mawdhu'i belum ada di zaman Abduh, Abduh telah mewacanakan asumsi dasar yang menjadi pijakan metode tafsir maudhu'i.

Demikianlah posisi Abduh terhadap tafsir maudhu'i. Walaupun dia bukan orang yang mengenalkan istilah tersebut, namun Abduh banyak berjasa dalam mewacanakan landasannya. Hal ini dapat dibaca oleh Farmawi,kemudian diabadikan dan dikembangkan dalam bukunya Al Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar